SnapIG, Id - Menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Nusa Tenggara Barat (NTB) 2024, masyarakat harus semakin cermat dalam menyikapi hasil survei yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga.
Kehadiran lembaga survei yang tidak jelas kredibilitasnya bisa menjadi alat propaganda politik dan berpotensi menyesatkan pilihan masyarakat. Terutama di tengah masa kampanye Pilgub NTB, maraknya survei "bodong" perlu diwaspadai.
Baru-baru ini, muncul beberapa lembaga survei yang memicu kebingungan di masyarakat. Salah satunya adalah Nusra Institut, yang setelah ditelusuri, ternyata tidak terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) NTB atau asosiasi
lembaga survei resmi lainnya. Menariknya, pendiri lembaga tersebut diduga memiliki afiliasi dengan salah satu pasangan calon, yang menimbulkan keraguan atas objektivitas hasil survei mereka.
Hasil survei yang mereka rilis menunjukkan pasangan Iqbal-Dinda berada di posisi teratas dengan 31%, disusul oleh Siti Rohmi Djalilah-Musyafirin dengan 29,3%, dan pasangan ketiga di posisi terbawah dengan 15,9%.
Tidak hanya Nusra Institut, lembaga survei lain, seperti Poltracking, juga sempat mempublikasikan hasil yang menyebutkan keunggulan pasangan Siti Rohmi Djalilah-Musyafirin sebesar 23,3%, tetapi hanya memuat grafik tanpa peringkat kandidat lainnya.
Kasus lain yang meresahkan publik adalah munculnya flyer atas nama Olat Maras Institut (OMI), yang menempatkan Zul Uhel di posisi teratas dengan 32,8%, Iqbal-Dinda dengan 30,5%, dan Rohmi-Firin di posisi ketiga dengan 29,2%. Namun, pihak OMI dengan tegas membantah telah merilis survei tersebut, dan menyebut bahwa hasil yang beredar merupakan infografis palsu.
Survei, Propaganda atau Alat Evaluasi?
Direktur Eksekutif Survei Prediksi dan Statistik (PRESiSI), Darwan Samurdja, menyatakan bahwa survei pada prinsipnya berperan dalam memberikan ruang partisipasi publik dalam proses demokrasi.
Namun, survei tidak boleh dianggap sebagai prediksi akhir hasil pemilu, melainkan hanya alat untuk mengukur kecenderungan pemilih dan memetakan langkah strategi kampanye para kandidat.
"Survei seharusnya menjadi kompas bagi kontestan untuk memahami peta elektoral dan mengevaluasi langkah kampanye. Bukan sebagai alat untuk memanipulasi opini publik," ungkap Darwan.
Darwan juga menekankan pentingnya memahami bahwa hasil survei bukanlah keputusan akhir. Penentuan pemenang dalam pemilu sepenuhnya berada di tangan KPU melalui hasil penghitungan resmi (real count).
Banyaknya lembaga survei yang bermunculan dengan hasil yang bervariasi membuat masyarakat harus lebih kritis. Menurut Darwan, ada beberapa indikator untuk mengenali survei yang kredibel dan yang abal-abal.
Pertama, metode sampling yang digunakan harus proporsional dan representatif terhadap populasi yang disurvei. Kedua, data yang digunakan harus akurat dan sesuai dengan populasi pemilih. Ketiga, surveyor yang bertugas di lapangan harus memiliki integritas dan profesionalisme tinggi untuk menghindari bias.
"Jika survei menampilkan perbedaan hasil yang sangat jomplang dibanding lembaga survei lain, itu bisa jadi indikasi adanya kesalahan atau manipulasi dalam metodologi atau pelaksanaannya," kata Darwan.
Selain itu, lembaga survei yang terpercaya biasanya memiliki rekam jejak yang jelas. Kredibilitas lembaga bisa diukur dari pengalaman dan transparansi mereka dalam mempublikasikan metodologi serta hasil surveinya.
KPU memiliki peran penting dalam mengawasi lembaga survei yang beroperasi selama masa pemilu, terutama yang merilis hasil hitung cepat (quick count). Darwan menyarankan KPU untuk lebih tegas dalam memverifikasi lembaga survei yang terdaftar, sehingga hasil survei yang dipublikasikan tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
"Quick count harus memiliki margin of error yang sangat rendah, hanya sekitar satu persen dari real count KPU. Oleh karena itu, lembaga survei yang melakukan quick count harus benar-benar terverifikasi," ujarnya.
Masyarakat diimbau untuk tetap waspada terhadap lembaga survei yang hasilnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pastikan lembaga tersebut memiliki rekam jejak yang baik dan tidak terafiliasi dengan kandidat tertentu.
Dengan sikap kritis, diharapkan masyarakat tidak terpengaruh oleh survei bodong yang hanya bertujuan memanipulasi opini publik. (*)