SnapIG, Id - Perhelatan pemilihan umum (pemilu) tahun 2024 dipenuhi dengan banyak persoalan, salah satunya keterlibatan mantan terpidana korupsi sebagai calon anggota legislatif.
Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) terdapat 56 mantan terpidana korupsi yang nantinya nama mereka akan tertera di surat suara.
Tingkat pencalonannya pun beragam, baik DPRD tingkat kota, kabupaten, provinsi, pusat, dan DPD RI. Temuan ini memperlihatkan rendahnya kesadaran pemangku kepentingan menjamin pemenuhan nilai integritas dalam pemilu.
Kesimpulan di atas bukan tanpa dasar. Dari permasalahan tersebut, ada beberapa hal dan temuan yang penting dijadikan catatan krusial, khususnya bagi partai politik.
Pertama, partai politik melawan kehendak mayoritas masyarakat. Merujuk survei Litbang Kompas yang dilansir pertengahan Desember tahun 2022 lalu, tak kurang 90 persen lebih masyarakat tidak menghendaki mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Bukannya mendengar aspirasi itu, partai politik malah tetap bersikukuh menerima pendaftaran dan mencalonkan mantan terpidana korupsi.
Kedua, partai politik cenderung pragmatis dalam memilih figur yang akan dicalonkan sebagai calon anggota legislatif. Logikanya, sebagian besar para mantan terpidana korupsi merupakan pejabat publik yang sebelumnya tersangkut kasus hukum.
Oleh sebab itu, partai politik beranggapan dengan menggaet mantan terpidana korupsi, maka akan meningkatkan perolehan suara berdasarkan konstituen mereka sebelumnya. Model pemikiran semacam ini mencerminkan ketiadaan kaderisasi di internal partai.
Ketiga, partai politik masih menjadikan masyarakat sebagai penambal atas kebijakan pencalonan mantan terpidana korupsi pada pemilu mendatang. Seperti diketahui, saat isu ini mencuat, partai selalu berdalih bahwa “pilihan kembali kepada masyarakat.” Jika tidak setuju dengan caleg mantan terpidana, sebaiknya jangan dipilih.
Penting dicatat, alasan itu sebenarnya sudah tidak relevan lagi diucapkan. Sebab, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada tahun 2007 telah menegaskan bahwa masyarakat tidak dapat begitu saja diminta untuk menentukan pilihan tanpa ada mekanisme penyaringan terlebih dahulu di internal partai, utamanya dalam hal integritas kandidat.
Keempat, jika nomor urut 1 dan 2 dalam pemilu dianggap calon prioritas, maka partai politik menilai keberadaan mantan terpidana korupsi penting pada kontestasi elektoral mendatang. Temuan ICW, dari 49 mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD dan DPR RI, 27 orang diantaranya mendapatkan nomor urut 1 dan 2.
Hal ini menandakan bahwa partai politik masih memberikan “karpet merah,” bukan hanya mencalonkan, akan tetapi memberikan nomor unggulan kepada mantan terpidana korupsi.
Kelima, narasi keberpihakan pada pemberantasan korupsi yang selalu digunakan oleh seluruh partai politik terbukti hanya omong kosong semata. Kalau saja partai politik memahami, kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia berada pada titik yang mengkhawatirkan. Apalagi berkaitan dengan korupsi politik, di mana sebagian atau sekitar satu per tiga aktor yang dijerat oleh KPK dari 2004-2022 berasal dari klaster politik.
Oleh sebab itu, perekrutan kandidat calon anggota legislatif mestinya tidak lagi memberikan tempat bagi mantan terpidana korupsi. Permasalahan ini juga yang kerap mengantarkan partai politik menempati posisi paling rendah dalam survei tingkat kepercayaan masyarakat.
Namun, persoalan ramainya mantan terpidana korupsi mencalonkan diri pada pemilu mendatang juga bisa diarahkan kepada penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bagaimana tidak, jika dilihat pada website infopemilu.kpu.id, KPU enggan membuat terobosan regulasi yang mewajibkan setiap calon dengan status hukum sebagai mantan terpidana korupsi untuk mendeklarasikan informasi tersebut.
Akibatnya, berdasarkan pemantauan ICW, ada sejumlah mantan terpidana yang menutup akses informasi itu sehingga tidak diketahui para pemilih. Bukan cuma itu, KPU periode saat ini juga terkesan ingin melindungi para calon anggota legislatif yang berasal dari mantan terpidana korupsi.
Tudingan ini berdasar, sebab, pada tahun 2019 lalu KPU mengumumkan nama-nama mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Langkah KPU kala itu banyak diapresiasi karena memastikan ketersediaan informasi bagi pemilih terpenuhi. (ICW)